Sumenep, kanalmadura.com - Program sertifkat Tanah yang digencarkan Pemerintah melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) di Badan Pertanahan Nasional (BPN) bagi masyarakat kurang mampu di Sejumlah Desa di kecamatan Bluto Menjadi pembahasan hangat bagi masyarakat, terlebih oleh kalangan Aktifis pegiat anti korupsi, Karena ditengarai masih diwarnai aksi pungutan liar (pungli).
Berdasarkan catatan Ombudsman Perwakilan Sumbar, setidaknya 7 laporan terkait pungli Prona didapatkan dari masyarakat sepanjang 2017.
Sekertaris "Gempur" Amir menyampaikan bahwa pungutan pengurusan sertifikat Prona tersebut bukan dilakukan oleh oknum BPN, melainkan jajaran Pemerintahan Desa itu sendiri. Yang mana hal itu gampang mudah terjadi Karena ketidaktahuan masyarakat, dengan dalih biaya penerbitan administrasi penunjuk batas dan lain-lain .
Padahal, penunjukan batas dan pengukuran awal bisa dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. "Karena masyarakat tidak tahu, Maka Ini yang dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Sebenarnya, biaya yang dikenakan pada Prona hanya materai untuk administrasi, paling-paling hanya Rp 60 ribu, " ujarnya Jum'at (21/09/18).
Praktek di lapangan dan dari laporan sejumlah warga, baik di desa Kapedi, pakandangan Barat dan Pakandangan sangrah mengenakan tarif berkisar dari 350-400rb pada tahun 2018, Bahkan untuk tahun 2017 didesa kapedi mencapai 500rb untuk biaya ukur awal, penunjukan batas hingga membuat patok.
"Padahal biaya prona itu hanya untuk administrasi. Paling ditambah pengeluaran masyarakat untuk membuat patok sendiri. Jadi masih banyak yang pungli," paparnya.
“Perna-perna seperti itu harus ditinjau dan disikapi secara tegas oleh pemerintah daerah atau kecamatan karena berlawanan dengan aturan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Kepala inspektorat Sumenep, bapak Idris memilih diam ketika dikonfirmasi untuk diminta tanggapan dan kebijakannya terkait dugaan pungli Prona di sejumlah Desa di kecamatan Bluto yang saat ini menjadi topik pembahasan yang hangat di masyarakat. (21/09/18)